Jayapura, Jubi – Komite Nasional Papua Barat atau KNPB menggelar aksi diam di depan Pengadilan Negeri Jayapura, pada Selasa (17/1/2023). Mereka menuntut Viktor Yeimo dibebaskan tanpa syarat.
Para demonstran membawa selebaran dan poster sebagai bentuk protes penahanan Viktor Yeimo. Dalam tulisan poster itu para demonstran menuntut agar Viktor Yeimo dibebaskan tanpa syarat. Mereka menilai Yeimo merupakan korban kriminalisasi hukum dan korban diskriminasi rasis.
Juru Bicara Nasional Komite Nasional Papua Barat atau KNPB Pusat, Ones Suhuniap, menyatakan Viktor Yeimo adalah korban diskriminasi rasis. Suhuniap menyatakan selama 60-an tahun lebih orang Papua dilihat sebagai manusia terbelakang dan manusia kelas dua di Indonesia.
“Kasus ujaran rasis terhadap orang Papua bukan hanya di Surabaya tetapi sebelum sudah pernah terjadi terhadap mahasiswa Papua. Rasisme [tahun] 2019 merupakan akumulasi dari semua kasus rasisme yang dirasakan orang Papua,” kata Suhuniap kepada Jubi, pada Selasa (17/1/2023).

Saat ini Yeimo sedang menjalani persidangan dugaan makar di PN Jayapura. Perkara dugaan makar yang didakwakan kepada Viktor Yeimo itu terdaftar itu dengan nomor perkara 376/Pid.Sus/2021/PN Jap pada 12 Agustus 2021. Sidang itu dipimpin majelis hakim yang diketuai Mathius SH MH bersama hakim anggota Andi Asmuruf SH dan Linn Carol Hamadi SH (majelis hakim yang baru).
Pada 21 Februari 2021, Jaksa Penuntut Umum mendakwa Viktor Yeimo telah melakukan makar karena terlibat dalam aksi unjuk rasa anti rasisme Papua yang berujung menjadi amuk massa di Kota Jayapura pada 29 Agustus 2019.
Jaksa Penuntut Umum mengenakan empat pasal berbeda, yaitu Pasal 106 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP (bersama-sama melakukan makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dan wilayah negara), Pasal 110 ayat (1) KUHP (tentang permufakatan jahat melakukan makar), Pasal 110 ayat (2) ke 1 KUHP (berusaha menggerakkan orang lain untuk melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan agar memberi bantuan pada waktu melakukan atau memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan makar), Pasal 160 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP (tentang dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang).

Suhuniap menyatakan Orang Papua selalu menerima diskriminasi rasis. Ia menyatakan dalam kasus 19 Agustus 2019 Viktor Yeimo sebagai orang Papua ikut berpartisipasi dalam demo karena tidak terima ujaran kebencian tersebut.
Suhuniap menyatakan Yeimo merupakan korban kriminalisasi hukum. Sebab dugaan makar yang didakwakan kepada Yeimo tidak relevan lantaran demonstrasi anti rasisme dilakukan rakyat Papua secara spontan. Yeimo terlibat dalam aksi demonstrasi itu karena merasa martabat sebagai orang Papua direndahkan.
“Maka dalam aksi protes anti rasisme di Papua karena orang Papua merasa martabat sebagai manusia direndahkan,” ujarnya.
Suhuniap menyatakan penangkapan dan penahanan serta proses hukum terhadap Yeimo merupakan bentuk kriminalisasi dan pembungkaman terhadap aktivis Papua. Karena pelaku rasisme di Surabaya pada 2019 yang diduga dilakukan aparat keamanan hingga kini tidak diadili.
“Viktor sebagai aktivis pro Papua merdeka sengaja dikriminalisasi,” katanya.
Hingga berita ini diturunkan, sidang dengan agenda mendengarkan tanggapan dari jaksa atas eksepsi penasehat hukum Yeimo belum berlangsung. Rencananya sidang akan dimulai pukul 1 siang waktu Papua. (*)