Opini  

Menyikapi ide filosofis Nietzsche di Papua

Nietzsche
Nietzsche. - pixabay.com

Oleh: Siorus Degei* 

Pada penulisan kali kita akan bersama mereferensikan dan merelevansikan pemikiran seorang pemikir besar, yakni Friedrich Wilhelm Nietzsche. Penulis tidak akan mengupas semua pemikiran Nietzsche yang mahaluas dan mahadalam itu.

Akan tetapi, penulis membatasi penulisan ini seputar pemikiran Nietzsche tentang mental kawanan, moralitas budak versus moralitas budak, dan “Tuhan Sudah Mati”. Singkatnya, penulis mengupas pemikiran filosofisnya tentang bagaimana menjadi manusia integral, tanpa harus terbawa arus layaknya kawanan hewan. Sehingga pada gilirannya kita mampu tampil sebagai “dewa nihilisme” dan “pembunuh Tuhan yang palsu”, “Tuhan ciptaan sistem kolonial NKRI” di West Papua.

Kita akan berusaha menggunakan pemikiran Nietzsche untuk mengkritik masyarakat Papua yang selalu tampil sebagai “kawanan massa” saat melakukan aksi demonstrasi damai. Bahwa dengan pemikiran Nietzsche ini kita hendak menguji kadar ideologi, nasionalisme dan patriotisme bangsa West Papua–apakah itu benar-benar lahir dan ada dari dalam hati ataukah itu tidak lebih dari sebuah konstruksi dan proyeksi massa.

Bahwa apakah ideologi, nasionalisme dan patriotisme bangsa West Papua itu murni dan kokoh atau sekedar “KTP, formalitas, instan dan semu” yang terbungkus dalam suatu pergerakan kawanan massa? Bahwa apakah orang Papua hanya mau menuntut kemerdekaan jika ada banyak orang Papua lagi disekitarnya ataukah sekalipun ia sendiri ia tetap konsisten memperjuangkan nasibnya?

Mengenal Nietzsche

Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900) adalah filsuf Jerman pada akhir abad ke-19 yang menantang dasar-dasar Kristiani dan moralitas tradisional. Dia tertarik untuk memajukan ‘kesehatan individu’ dan kebudayaan, dan percaya pada hidup, kreativitas, kekuasaan dan kenyataan-kenyataan dunia yang kita hidupi daripada semua yang terdapat di seberang dunia ini.

Inti filsafatnya adalah konsep ‘penegasan hidup’ yang menghendaki supaya kita bertanya secara jujur tentang semua doktrin yang menguras energi, yang meskipun pandangan itu secara sosial mungkin sudah begitu jamak/umum.

Dia sering disebut sebagai satu dari filsuf-filsuf eksistensialis bersamaan dengan Søren Kierkegaard (1813–1855), filsafat Nietzsche yang menghidupkan telah memberi inspirasi kepada tokoh-tokoh terkemuka di semua jalan dari kehidupan kebudayaan, termasuk penyanyi, novelis, penyair, pelukis, psikolog, filsuf, sosiolog dan  aktivis-aktivis sosial.

Nietzsche adalah seorang pemikir yang jenius. Ia sudah menjadi profesor di Universitas Leipzig sejak berusia 24 tahun. Ia banyak menulis buku bagus sejak masa mudanya. Walaupun ia sedikit cacat, jiwa, roh dan spiritnya untuk menjadi manusia yang ideal dan super sangat menggebu-gebu dalam karya dan pemikirannya.

Nietzsche tidak pernah tunduk pada otoritas apapun. Baginya pikirannya lebih tinggi dan bermakna daripada pemikiran lainnya. Ia sudah ada jauh di depan dari para pemikir sezamannya.

Baca juga :   Konflik Papua dan dialog yang ideal

Hal ini membuat Nietzsche agak sombong dan sulit rendah hati. Namun secara positif dapat kita pelajari bahwa untuk menjadi manusia yang benar-benar bebas, utuh dan integral kita mesti kritis, analitis dan objektif mempertanyakan segala sesuatunya dalam hidup kita, entahkah itu agama, budaya, dogma, dan semua fundamentalisme dan dogmatisme dalam masyarakat kita, agar kita tidak mudah dimanfaatkan, dininabobokan, dimanipulasi, dikapitalisasi, dialienasi dan dieksekusi layaknya kawanan hewan, yang berbondong-bondong masuk dalam jerat jurang terjal yang satu dan sama, tanpa terlebih dahulu mempertanyakan kepada Sang Gembala.

Nietzsche mengidolakan dewa Dionisius. Nietzsche yang pada saat itu dipengaruhi para ahli zaman Romantis Jerman, dan secara khusus aliran Schopenhauerian, memandang bahwa kekuatan-kekuatan yang nonrasional tetap sebagai dasar dari semua kreativitas dan dasar kenyataan itu sendiri, mengidentifikasi energi Dionisian yang kuat secara instingtual, liar dan amoral di dalam kebudayaan Yunani pra-Sokratis sebagai kekuatan yang secara esensial sehat dan kreatif.

Sementara meneliti sejarah kebudayaan Barat sejak zaman Yunani, Nietzsche meratapi bagaimana energi Dionysian yang kreatif telah diperlemah dan diturunkan, sehingga ia menjadi tidak penting oleh kekuatan keteraturan logis Apollonian dan ketenangan yang kaku. Dia menyimpulkan bahwa kebudayaan Eropa yang sejak masa Sokrates tetap dipengaruhi hanya dari sudut Apollonian, tertutup dan secara relatif tidak sehat.

Nietzsche melihat bahwa moralitas memperbudak manusia untuk tidak bisa menjadi bebas dan menjadi dirinya sendiri. Agama Kristen hanya membuat manusia tampil sebagai kawanan massa yang tidak bisa mengikuti hasrat dan kehendaknya untuk berkuasa.

Dari sinilah muncul pemikiran moralitas budak dan moralitas tuannya.

Nietzsche percaya bahwa manusia hanya bebas dan telah menjadi dirinya ketika ia tidak tunduk pada nilai-nilai tradisional yang mengekang seperti agama.

Nietzsche juga memaklumatkan kematian Tuhan dengan mengatakan “Tuhan sudah mati”. Tuhan sudah mati merujuk pada keniscayaan kenyataan bahwa untuk menjadi manusia integral manusia tidak perlu menjadi manusia kawanan (massa).

Manusia dengan mengikuti hasrat dan kehendaknya untuk berkuasa secara bebas, tanpa tekanan atau penetrasi dogmatisme dan fundamentalisme tradisional, yang termanifestasi dalam agama, budaya dan lingkungan masyarakat, akan lebih mudah menjadi manusia yang manusiawi, ketimbang manusia yang terikat dan berurat berakar dalam tirani dogmatisme dan fundamentalisme tradisional.

Nietzsche hendak menegaskan bahwa untuk menjadi manusia yang manusiawi agama, budaya, nilai-nilai tradisional yang tampil sebagai “tuhan” itu sebenarnya sudah mati sebab sains, ilmu pengetahuan, seni dan perkembangan kemanusiaan jauh lebih canggih dan menghasilkan, daripada tunduk dan patuh pada suatu dogma tradisional yang mengerdilkan dan menihilkan potensi-potensi besar manusia tampil sebagai manusia sejati.

Baca juga :   Plus minus DOB di Papua

Tanpa Tuhan manusia bisa baik, pintar, bahagia dan damai. Tidak harus menjadi Kristen dan mengimani Tuhan saja manusia dapat mengalami segala apa yang baik dan positif dalam diri dan hidupnya. Sehingga memang pada hakikatnya Tuhan itu tidak dibutuhkan dan memang seiring perkembangan zaman Tuhan sudah tidak dibutuhkan lagi sebagai satu-satunya sumber atau referensi primer dalam memanusiakan manusia. Yang ada Tuhan hanya membuat manusia menjadi lemah, miskin, takut, acuh tak acuh, dan rendah diri dalam realitas konkret kehidupan yang membutuhkan manusia tampil sebagai manusia supaya, pribadi yang utuh, bertanggung jawab, penuh ambisi, percaya diri dan moralitas canggih yang berapi-api.

Manusia budak dan manusia tuan: Wajah manusia hemat Nietzsche

Seperti sudah disinggung di atas bahwa Nietzsche melihat umat manusia cenderung tampil di luar dari koridor eksistensinya, yakni dirinya sendiri, personal, individu. Manusia lebih condong tampil sebagai kawanan massa.

Mereka semacam akan lemah, tak berdaya, dan bermoral budak jika harus tampil sendiri, tanpa intervensi apapun, menjadi dirinya sendiri sesuai versinya, masing-masing dengan tiap-tiap. Singkatnya Nietzsche melihat bahwa selama ini yang ada hanyalah manusia budak, bukan manusia tuan.

Manusia budak adalah mereka yang tampil semacam kehilangan identitas, substansi, esensi dan eksistensinya sebagai manusia sejati yang memiliki intelegensi, moral, dan kehendak untuk berkuasa, menjadi tuan atas diri dan hidup sendiri layaknya para budak.

Penjajah dan penjara bagi manusia budak itu adalah nilai-nilai mapan yang selama ini mereka pegang teguh sebagai soko guru atau roadmap menuju jati diri kemanusiaan yang integral, padahal mereka tidak sadar bahwa nilai-nilai yang mereka pegang teguh itu tidak lain dan tidak bukan adalah paket perbudakan, yang membuat mereka tampil hanya sebagai budak, nilai-nilai moral yang memperbudak itu adalah ajaran moralitas Kristiani yang sangat melemahkan gairah dan kehendak berkuasa dalam jati diri umat manusia, sebagai syarat mutlak jalan menuju eksistensi manusia super yang integral.

Sedangkan manusia tuan adalah kontradiksi dari manusia budak. Manusia tuan adalah manusia yang berani mengikuti naluri, suara hati dan kehendak dasariahnya yang murni tanpa embel-embel dan intervensi nilai-nilai moral eksternal yang mengerdilkan seperti Agama dan lainnya.

Manusia tuan adalah mereka yang menjadi tuan, raja, pemimpin, jenderal dan panglima atas dirinya sendiri. Mereka yang mampu berdikari secara mandiri tanpa terikat dan tunduk patuh pada nilai-nilai moral eksternal apapun, yang notabene menjajah dan memperbudak.

Kurang lebih demikian konsep filosofi Nietzsche tentang wajah manusia budak dan manusia tuan.

Baca juga :   Angganeta Manufandu dan Yosepha Alomang (1/2)

Sebenarnya konstruksi filsafat Nietzsche ini tidak terlepas dari dirinya sendiri. Bahwa ia adalah manusia jenius yang angkuh dan yang tidak pernah tunduk pada nilai-nilai moral eksternal dalam kehidupan masyarakat yang menurutnya hanya memperbudak manusia untuk tidak tampil sebagaimana manusia pada hakikatnya yang adalah kuat.

Bahkan Nietzsche tidak pernah menyerah dan tunduk pada rasa sakit dan kecacatannya. Ia percaya diri sebab ia sangat jenius. Sehingga memang dalam hal tertentu konsep Filosofis Nietzsche ini sangat membantu kita tampil sebagai manusia sejati,.yang tidak mudah menjadi budak dan tidak terlalu kepedean untuk menjadi manusia sempurna, sebab pada hakikatnya manusia tidak pernah menjadi sempurna.

Berikut berdasarkan sedikit pandangan Nietzsche tentang hakikat manusia budak dan manusia tuan di atas. Maka selanjutnya kita akan bersama-sama melihat dan merefleksikan bagaimana hakikat manusia asli Papua atau OAP (orang asli Papua).

Konteks konstruksi manusia Papua yang hendak kita lihat di sini adalah manusia Papua dalam jalan emansipasi dan revolusi penentuan nasib sendiri. Bahwa kita mau lihat lebih dekat apakah selama ini dalam sejarah perjuangan bangsa West Papua menuju kemerdekaan itu mereka tampil sebagai manusia budak atau manusia tuan sebagaimana gambaran manusia menurut Nietzsche?

Kita bisa memakai banyak pengandaian untuk melihat dan menggambarkan hakikat manusia Papua selama melakukan pergerakan perlawanan kepada pemerintah kolonial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdasarkan Pemikiran Nietzsche kita akan membabaknya menjadi dua, yakni manusia budak dan manusia tuan.

OAP sebagai “manusia budak” 

Pada hakikatnya secara politis administratif kolonial, status politik bangsa West Papua berdasarkan hukum internasional adalah bangsa budak atau bangsa koloni dari NKRI. Bahwa memang benar bangsa West Papua adalah bangsa bangsa budak dari penjajah NKRI dan sekutunya. Jadi, tidak salah jika kita katakan bahwa memang benar eksistensi, esensi dan substansi manusia Papua dalam bingkai NKRI tidak lebih dan tidak kurang dari seorang budak.

Entah OAP itu berstatus, berprofesi, berprestasi, berprestise, berpopularitas dan berstrata sosial, politik, ekonomi, budaya dan religi yang tinggi, besar dan pesat. Namun, di mata negara, terutama di mata sistem neo-imperialisme, neo-kolonialisme, neo-kapitalisme, neo-feodalisme dan neo-liberalisme kolonial NKRI dan sekutunya bangsa West Papua layaknya hewan buruan yang sah-sah saja jika mau dibunuh dan dibantai secara tidak manusiawi oleh penguasa. Bersambung. (*)

* Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura-Papua

Komentar
banner 728x250